RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Ibarat Racun Berbalut Madu
Oleh: Umi Munib
Mediaoposisi.com-Kekerasan seksual terutama terhadap perempuan dan anak-anak di Indonesia semakin marak belakangan ini.
Komnas Perempuan mencatat pada tahun 2014 terdapat 4.475 kasus, tahun 2015 sebanyak 6.499 kasus, tahun 2016 sebanyak 5.785 kasus dan pada tahun 2017 tercatat ada 2.979 kasus kekerasan seksual di ranah KDRT atau relasi personal serta sebanyak 2.670 kasus di ranah publik atau komunitas.
Yang lebih mengkhawatirkan, data Balai Pelayanan Kepulangan TKI Selapajang Tangerang menyebut terdapat 11.343 kasus pelecehan seksual sepanjang tahun 2008 s/d 2014.
Bertolak dari fakta ini, Komnas Perempuan memandang perlu ada sebuah aturan khusus untuk memberantas tuntas permasalahan tersebut. Maka dari itu mereka menyusun RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS).
Namun RUU ini menjadi kontroversial di tengah masyarakat. Mereka mempermasalahkan sisi paradigma yang berpengaruh terhadap pasal-pasal definisi dan persanksian, maupun soal kemampuan RUU ini dalam menuntaskan seluruh persoalan kekerasan seksual.
Pemerintah Kabupaten Bandung, dalamhal ini DPC Peradi (Perhimpunan Advokat Indonesia) Bandung dibawah kepemimpinan Dr. Musa Darwin Pane, S.H., M.H serta Polres Bandung pada bulan Februari lalu melakukan kerjasama dalam bentuk dialog publik dan deklarasi guna mendesak pemerintah untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Kerjasama dilakukan sebagai bentuk kepedulan dimana menurut data ada 25 orang perempuan dan anak-anak mengalami kekerasan seksual setiap jamnya di Kabupaten Bandung.
Menurut Asri Vidya Dewi selaku Narasumber dalam dialog publik tersebut menyampaikan �Dalam hukum yang berlaku di Indonesia memang belum ada yang bisa melindungi korban kekerasan seksual secara komprehensif, dari hulu ke hilir.
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual adalah sebuah terobosan penting bagi penegakan huk um dalam kejahatan seksual karena RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) mengarah pada sistem peradilan pidana yang menjauhkan korban dari viktimisasi.
Lain halnya dengan organisasi AILA (Aliansi Cinta Keluarga Indonesia), sebuah organisasi non profit yang bergerak untuk melindungi keluarga dari kejahatan sekual seperti perzinahan, perkosaan, dan penyimpangan.
AILA mengapresiasi kesigapan DPR dan pemerintah dalam upaya merespon darurat kejahatan seksual yang terjadi di masyarakat. Namun AILA menyarankan RUU P-KS juga dapat dikaji secara mendalam dan dengan penuh kehati-hatian.
Hal ini disebabkan ditemukan sejumlah ketidakcocokan dan ketidakjelasan makna maupun tujuan dari sejumlah pasal yang ada dalam RUU P-KS.
Oleh karena itu, AILA meminta agar RUU P-KS diubah menjadi RUU Penghapusan Kejahatan Seksual atau RUU Penghapusan Kejahatan Kesusilaan. Demikian solusi yang ditawarkan oleh AILA. Begitu juga MUI mengawal agar DPR melakukan peninjauan ulang draf RUU P-KS yang diusulkan oleh Komnas Perempuan.
Tidak bisa dipungkiri permasalahan seksual di tengah masyarakat menjadi topik panas untuk dibicarakan, termasuk solusi yang ditawarkan saat ini yakni penggodokan RUU PKS (RUU Penghapusan Kekerasan Seksual).
Kalau kita lihat lebih secara jujur terjadinya kekerasan seksual di masyarakat, terjadi karena masyarakat kita saat ini hidup di dalam sebuah kehidupan yang bebas. Kita senantiasa disuguhi dengan pornografi dan pornoaksi.
Betapa banyaknya perempuan yang mengumbar tubuh seksinya, bahkan bangga memamerkan auratnya hanya demi pujian semata, maka jangan heran ketika terjadi kekerasan seksual karena seolah-olah mereka menantang untuk dilecehkan, adapula komunitas perempuan ada yang merasa dirinya mempunyai nilai yang lebih dari perempuan lain karena mampu mendapat bayaran puluhan juta dalam satu kali zina.
Sebaliknya, kehidupan suami dan istri dalam lingkup keluarga justru dianggap sebagai perbudakan kepada perempuan, na�udzubillahi min dzalik.
Dalam sistem Kapitalis Sekuler membolehkan agar masing-masing kepala berfikir untuk mencari solusi terhadap setiap permasalahan yang terjadi.
Padahal manusia sejatinya adalah manusia yang serba terbatas, begitu juga dengan RUU PKS bagai racun berbalut madu, kedengarannya manis namun jika dikaji ternyata RUU ini hanya mempermasalahkan kasus yang di dalam tindak seksualnya ada unsur pemaksaan.
Namun ketika tidak ada pemaksaan, maka hal tersebut dianggap bukan sebuah kejahatan atau pelanggaran terhadap peraturan.
Maka, jika seseorang melakukan zina suka sama suka, atau suami mensodomi istrinya dan istrinya senang-senang aja, itu bukan kekerasan seksual (menurut RUU itu).
Selain itu, perzinaan dan perilaku LGBT serta penyimpangan seksual lainnya (sodomi, nudity/telanjang, dan lain-lain) dalam RUU itu tidak dianggap sebagai bentuk kekerasan seksual jika tidak ada unsur paksaan walaupun perilaku seksual tersebut bertentangan dengan moralitas dan agama.
RUU ini, juga berpotensi melegalkan prostitusi karena jika tubuh seseorang dieksploitasi demi hasrat seksual, namun atas persetujuan yang bersangkutan, dan atas karenanya yang bersangkutan akan mendapatkan keuntungan, tidak akan terkena delik kekerasan begitu juga dengan aborsi.
Maka jelas sekali bahwa RUU PKS ini lahir dari rahim Kapitalis Sekuler Liberal sehingga alat yang digunakan sebagai pisau analisis adalah teori-teori gender, yang dipandang bisa berdampak pada rusaknya pola relasi dalam keluarga dan masyarakat
Selanjutnya berdampak pada kerusakan generasi dan peradaban Islam, serta diaruskan oleh negara-negara imperialis sebagai alat mengokohkan penjajahan melalui perempuan.
Dengan demikian maka solusi terhadap kekerasan seksual tidak bisa diakhiri dengan RUU-PKS, karena nyatanya RUU ini justru menyebabkan legalnya dosa yang lebih besar yakni melanggengkan seks bebas, LGBT, prostitusi bahkan aborsi.
Masalah kekerasan seksual juga tidak bisa dituntaskan dengan mengganti RUU P-KS dengan RUU Penghapusan Kejahatan Seksual atau RUU Penghapusan Kejahatan Kesusilaan.
Sebab jika tata kehidupan di masyarakat tetap sekuler-liberal maka kejahatan seksual pun akan terus menjamur di masyarakat.
Dalam Islam sebagai agama yang paripurna mempunyai solusi terhadap setiap pemasalahan dimana solusi ini datang dari Sang Pencipta yakni Allah SWT. Tindakan kekerasan seksual adalah sebuah kejahatan yang harus ditangani secara preventif dan kuratif.
Tanpa upaya preventif, apapun langkah kuratif yang dilakukan tidak akan pernah efektif. Tanpa solusi kuratif, upaya preventif akan mandul. Syari�at Islam memenuhi kedua upaya tersebut.
Dari sisi preventif, Syari�at menanamkan ketakwaan dalam diri individu melalui jalur pendidikan baik formal maupun nonformal. Individu yang bertakwa memiliki keyakinan bahwa sekecil apapun perbuatan buruk, akan diketahui Allah subhanahu wa ta�ala dan pasti mendapatkan balasan di hari akhirat.
Keterikatan pada hukum syariat mampu mencegah perbuatan zalim apapun dan terhadap siapapun. Syari�at juga membentuk masyarakat berbudaya amar ma�ruf nahi munkar. Mereka tak akan membiarkan muncul kezaliman dan pelanggaran syara� di lingkungannya.
Masyarakat Islam pun terkondisikan dengan pengaturan kehidupan yang Islami, tanpa aurat yang bertebaran di ranah publik, terhindar dari pornografi dan pornoaksi, menempatkan perempuan sebagai kehormatan yang harus dijaga.
Negara Khilafah sebagai entitas pelaksana syari�at Islam memastikan hanya menerapkan aturan Allah saja dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dari mulai sistem perpolitikan, pendidikan, sosial kemasyarakatan, ekonomi, dan sebagainya. Saling berintegrasi membentuk tatanan kehidupan yang islami.
Negara Khilafah tidak membutuhkan konsep serta solusi Barat yang senyatanya menjadi biang tumbuhnya berbagai permasalahan sosial dalam masyarakat.
Negara pula yang melakukan upaya kuratif dengan menerapkan sanksi tegas atas segala kemaksiatan, termasuk kekerasan atau kejahatan seksual tanpa pandang bulu. Sanksi tersebut bisa berupa jilid dan rajam jika tindakannya berupa pemerkosaan.
Bisa pula ditambah dengan ta�zir jika disertai tindakan kejahatan lain seperti menculik, menyekap, memaksa konsumsi narkoba/miras pada korban.
Sistem Islam adalah berasal dari Allah Swt. Zat yang Maha Pencipta dan Maha Mengetahui hakikat mahluk ciptaanNya.
Wajar bila sistem tersebut dengan keterpaduan upaya preventif dan kuratif mampu menyelesaikan seluruh permasalahan umat manusia, baik itu perempuan maupun laki-laki.
Sistem ini juga akan menghapus kejahatan atau kekerasan seksual secara tuntas, tanpa menyisakan masalah ataupun menimbulkan problematika baru di tengah masyarakat.
Maka tidak bisa dipungkiri sudah sepatutnya kita kembali ke sistem yang sempurna yakni sistem islam saja.[MO/ad]
Tidak ada komentar