Meluruskan Mitos Perempuan Ala Feminis
Oleh Tawati
Mediaoposisi.com-Setelah sukses menghancurkan institusi pemerintahan Islam sebagai benteng utama umat Islam, yakni Khilafah Islamiyah, tahun 1924. Barat Imperialis kafir sesungguhnya tidak pernah berhenti untuk 'membumihanguskan' Islam dan kaum Muslim.
Benteng terakhir umat Islam pun, yakni Institusi keluarga Muslim, sudah lama mereka bidik untuk juga dihancurkan. Salah satunya adalah melalui gerakan feminisme yang sudah merambah bukan hanya bidang pemikiran, tetapi juga politik dan perundan-undangan.
Ide dasar feminisme sesungguhnya berangkat dari asumsi tentang keniscayaan kesetaraan dan keadilan gender (KKG) antara laki-laki dan perempuan. Dalam pandangan kaum feminis, ketidaksetaraan ini yang mereka yakini lebih karena faktor nurture ketimbang nature telah menghasilkan subordinasi perempuan oleh laki-laki.
Inilah yang menurut mereka, menjadi sumber ketertindasan perempuan saat ini. Karena itulah, kaum feminis berusaha 'mengembalikan' kesetaraan gender sebagai kunci untuk menyelesaikan problem ketertindasan kaum perempuan selama ini.
Menyikapi hari perempuan yang diperingati setiap tanggal 8 Maret ini, perlu kiranya untuk mengkaji beberapa asumsi-asumsi kaum feminis seputar perempuan, dan meluruskan kekeliruan yang sering mereka opinikan ketengah-tengah masyarakat.
1. Perempuan harus sama sejajar dengan pria
Konsep Keadilan Kesetaraan Gender 50/50 menurut UNDP menyatakan bahwa idealnya pria dan wanita harus meraih tingkat kesehatan, pendidikan, pendapatan dan partisipasi politik yang sama. Pandangan ini berdasarkan pemahaman bahwa pria dan wanita memiliki kapasitas, kebutuhan dan kesukaan yang sama.
Dalam bidang pendidikan, dasar pembentuk kepribadian yang bebas gender, mulai disosialisasikan Pendidikan Anak Dini Usia Berbasis Gender. Di bidang kesehatan, perempuan diarahkan pada kebebasan dalam menentukan hak reproduksinya sendiri. Di bidang politik, kuota 30% perempuan dalam partai politik, parlemen, birokrasi dan lain-lain.
Islam menetapkan hak dan kewajiban yang sama pada pria dan wanita sebagai manusia (insaniah), sekaligus menetapkan kekhususan hak dan kewajiban berdasarkan jenis masing-masing (sebagai pria dan sebagai wanita).
Wanita diberi tanggungjawab utama sebagai ibu dan pengelola rumah tangga, dengan perannya yang besar di sektor domestik. Sebaliknya, pria diberi beban sebagai kepala rumah yang melindungi, mengayomi dan memenuhi kebutuhan sektor domestik, sekaligus berperan sebagai pemimpin bangsa dan negara di sektor publik.
Sebagai manusia, pria dan wanita diberi kesempatan yang sama untuk berkiprah di sektor publik dalam rangka meraih kemaslahatan bersama, berdakwah dan menegakkan amar makruf nahi mungkar di masyarakat.
Kesamaan potensi dan sifat sebagai manusia, serta keragaman potensi dan sifat berdasarkan jenis laki-laki dan perempuan, akan menjamin terwujudnya kehidupan bermasyarakat yang saling melengkapi, harmonis dan jauh dari ketimpangan.
Konsep gender menafikan naluri dan hanya menerima kesamaan potensi akal dan kebutuhan jasmani. Perbedaan pria dan wanita menurut konsep gender secara alami hanya terletak pada alat reproduksi semata. Asumsi ini pun dapat dibantah. Jika konsep gender menerima perbedaan secara fisik pria dan wanita, mengapa mereka tidak menerima adanya perbedaan sistem hormonal pria dan wanita yang juga bersifat fisik?
2. Perempuan harus mandiri ekonomi
Kelompok feminis sering mengangkat opini tentang wanita bekerja di luar rumah, suami tidak boleh melarangnya (padahal dalam Islam, Allah memberikan wewenang kepada suami untuk mengizinkan istri bekerja atau tidak).
Mereka mengemasnya dengan 'lipstik' kemandirian ekonomi, padahal yang diinginkan sebenarnya pemindahan posisi kepala keluarga dari tangan suami ke tangan istri. Diawali dengan Istri mandiri secara nafkah karena bekerja dan tidak lagi tergantung pada suami, kemudian leluasa mengambil keputusan untuk dirinya dan keluarganya.
Dari sini para istri akan digiring menjadi kepala keluarga. Ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam, ajaran Allah dan Rasul Nya. Saat para istri sibuk bekerja, tanggung jawab utama yang Allah dan Rasul Nya bebankan--yaitu sebagai ibu dan pengatur rumah tangga, mengurus anak-anak dan melayani suami--akan berantakan.
Dampak yang bisa ditebak adalah peningkatan angka perceraian, pelacuran merajalela dan anak-anak Muslim terlantar dari pengasuhan ibunya. Dampak akhirnya adalah kehancuran keluarga dan generasi.
3. Perempuan ditindas laki-laki
Atas nama HAM dan gender, suami tidak boleh memaksa istri dalam pemenuhan biologisnya. Lalu kepada siapa suami menyalurkan kebutuhan biologisnya, sementara mereka (kaum feminis) menjegal dan menghadang poligami yang syar'i.
Artinya, mereka menghalangi penyaluran kebutuhan biologis para suami kepada istri kedua, istri ketiga yang dinikahinya secara sah. Hal ini jelas tampak pada penyerangan mereka terhadap ide-ide poligami. Lalu kemana para lelaki mau digiring dalam pemenuhan kebutuhan biologisnya? Tidak lain adalah ke tempat-tempat pelacuran!
4. Perempuan bebas berekspresi
Kemandirian perempuan dalam ekonomi, sekaligus dukungan terhadap kesehatan reproduksinya, secara bertahap akan membuat perempuan tidak lagi mementingkan institusi keluarga.
Di negara-negara pelopor kebebasan perempuan seperti Amerika, single parent banyak menjadi pilihan para perempuan yang berkarir. Pernikahan tidak lagi penting. Seks bebas menjadi solusi hak reproduksi perempuan.
Dalam Islam ekspresi perempuan dilindungi syariah. Yang perlu diperhatikan oleh seorang perempuan yang memutuskan untuk bekerja adalah adanya izin dari suami ataupun walinya, serta tidak melanggar hukum syara ketika keluar rumah untuk bekerja.
Ia wajib menutup aurat, menghindari khalwat, tidak melakukan perjalanan dalam jarak safar tanpa mahram, serta senantiasa menjaga kehormatannya. Islam juga melarang menjadikan kecantikan sebagai modal perempuan dalam bekerja.
Eksploitasi kecantikan dijauhkan, sehingga perempuan semata-mata bekerja karena keterampilan dan ketinggian ilmunya. Rafii' bin Rifa'ah meriwayatkan, "Rasulullah melarang pekerjaan perempuan kecuali apa yang dikerjakan tangannya."
Islam Memuliakan Perempuan
Dalam Islam, peran yang diemban seorang Ibu mendapatkan perlindungan dan jaminan sebaik-baiknya. Nafkahnya ditanggung. Bukan sebaliknya, ia dipaksa menelan propaganda peran ganda, di rumah sebagai istri dan ibu, di luar rumah sebagai pekerja.
Bila pada faktanya saat ini perempuan banyak berkubang dalam kehinaan dan eksploitasi dalam bekerja, maka itu adalah buah dari penerapan sistem kapitalis yang tidak mengenal kemuliaan perempuan, tetapi hanya mengedepankan manfaat dan keuntungan semata.
Berbeda di dalam Islam, kalaupun perempuan bekerja, maka pekerjaannya jauh dari kondisi penindasan dan eksploitasi. Ia hanya bekerja di tempat-tempat terhormat dan terjaga, tanpa harus merendahkan marwah (harga dirinya). Ia juga memiliki bergaining position (posisi tawar) yang tinggi karena ia bekerja tidak didorong oleh kebutuhan upah.
Maka saudara-saudara kami Muslimah di mana pun, marilah kita terus mewaspadai dan menolak agenda-agenda sekular dan feminis.
Apa yang mereka serukan, seperti kesetaraan gender, keadilan dan hak-hak perempuan, tak lain tak bukan adalah upaya untuk mereformasi hukum-hukum syariah yang berkaitan dengan perempuan. Mereka hendak mengubah hukum syara dengan hukum yang sesuai akal mereka, sementara akal mereka terbatas.
Sungguh tak layak bila kita mengikatkan diri pada ide-ide dan perjanjian-perjanjian yang bersumber dari feminisme. Begitu pula, tidak ada ruang dalam Islam untuk menerima feminisme. Marilah kita berpegang teguh kepada keyakinan dan hukum-hukum Islam tanpa dilusi, kompromi atau perubahan. []
Post Comment
Tidak ada komentar