Kartu Pra Kerja (KPK) Populiskah?
![]() |
Gambar: Ilustrasi |
Oleh: Dian AK
(Women Movement Institute)
Mediaoposisi.com-Nuansa pemilu seakan tak ada matinya. Berbagai hal yang berkaitan dengan pemilu terus menghiasi media. Tak luput, sorotan publik kali ini tertuju pada janji Sang Petahana. Janji akan menggaji pengangguran dengan adanya Kartu Pra Kerja ini pun menuai kontroversi. Pihak yang pro dengan gagah terus membela dan mengunggulkan program ini sedangkan pihak yang kontra justru mati-matian mematahkan argumen sang petahana.
Terlepas dari pro dan kontra, jika kita amati janji yang nampak populis ini, akankah betul-betul memihak rakyat? Tentunya janji yang cukup menggiurkan ini akan dapat dirasakan setelah diimplementasikan, atau dengan kata lain, dirasakan dampaknya setelah diterapkan di masyarakat.
Pertama, menimbulkan konflik. Memang dampak ini sangat riskan terjadi dimana ketimpangan antara para pekerja dan pengangguran akan sangat terasa. Satu sisi kalangan pengangguran merasa diperhatikan, namun tidak bagi kaum pekerja. Terutama pekerja yang jauh dari kata sejahtera, mereka akan merasa program ini tebang pilih. Maka, jauh panggang dari api, janji populis ini justru bisa menjadi perbenturan antar dua kubu rakyat dan walhasil konflik pun tak bisa dihindari.
Kedua, menambah beban rakyat. Tidak bisa dipungkiri keberadaan kartu pra kerja ini akan membebani rakyat. Jika digadang-gadang, kartu ini akan membebani Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang dampaknya terhadap masyarakat akan sangat terasa. Indikasi pertama, dengan pemasukan utama APBN adalah pajak maka akan sangat mungkin apabila kenaikan pajak terjadi dan lagi-lagi rakyat terkena imbasnya dan harus menanggung pajak ini.
Indikasi yang kedua, jika APBN mengambil langkah mengurangi subsidi maka tamatlah nasib rakyat. Harga barang-barang akan naik dan lebih lanjut lagi kemiskinan semakin bertambah. Maka, kata populis yang disematkan pada kebijakan ini hanyalah mimpi di tengah janji tak masuk akal ini.
Maka, benar apabila janji hanyalah sekedar janji. Kebijakan terlihat populis namun tak mampu diwujudkan. Program ini adalah satu dari banyak trik menjelang pemilu. Program yang hanya manis sebelum pemilu berlangsung, namun akan sangat pahit setelah berkuasa.
Rakyat akan terus dijadikan tumbal politik. Menggembar-gemborkan dan mendewakan rakyat pada awalnya namun lebih mengutamakan kaum konglomerat pada akhirnya. Itulah ketidakpopulisan yang akan terus dirasakan rakyat selama politik saat ini tidak berdasarkan pada politik Islam. Mengurus urusan rakyat bukan karena dorongan iman dan penerapannya tidak berdasarkan pada Islam. Maka, mengharapkan janji populis di tengah politik saat ini sangat impossible. [MO/ms]
Post Comment
Tidak ada komentar