Di Balik Kepercayaan Diri Ternyata Ada Sang Pemilik Modal
Oleh: Durrotun Inayati
(Mahasiswa STEI Hamfara)
Dari seorang ulama yang akhir-akhir ini sedang tampak berita karena ia di angkat sebagai wakil pemilihan presiden berpendapat bahwa terjun ke dunia politik membutuhkan modal besar untuk memenangkan gelar presiden dan wakil presiden.
Bagaimana tidak, di era sistem kapitalisme ini jika menginginkan suatu pangkatan perlu modal yang besar karena berkeinginan di pandang berkuasa dan menginginkan keuntungan yang sebesar-besarnya.
Menurut Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Barat Agus Rustandi, batas maksimal dana kampanye di Pilgub Jabar sebesar 473,39 M sedangkan menurut Kapolri biaya kempanye untuk calon gubernur rata-rata menghabiskan dana 100 Miliar ujar Tito di Hotel Mercure Ancol, Jakarta Utara, Selasa (6/3/2018)
Jika kita lihat dana yang digunakan untuk gebernur saja begitu besar, bagaimana dengan penggunaan dana kempanye calon presiden. Seendainya kita kalihkan antara 100 M dengan 34 Provinsi maka kita peroleh data sebesar 3,4 Triliun untuk dana kampanye seorang presiden
Jumlah itu ternyata tidak sebanding dengan gaji seorang presiden selama menjabat 5 tahun. Gaji pokok Presiden tiap bulan adalah sekitar 30 juta, ditambah tunjangan sebesar Rp 32,5 juta.
Kebutuhan dana kempanye lebih besar daripada bersaran gaji yang peroleh oleh para pejabat. Sehingga dibutuhkan investor gelap untuk menjadi calon pejabat di Indonesia. Kerjasa kepada para pemilik modal sudah tidak menjadi rahasia lagi
Sama hal dengan rezim hari ini, berani mengajukan diri 2 periode, merasa percaya diri terhadap siapa dibalik pencalonnya
Bahkan merasa percaya diri bahwa saat masih sudah mensejahterakan rakyatnya dan melesaikan problematika umat.
Padahal, ketika balik lagi kita lihat rakyat ini masih dalam multikrisis. Realitanya rakyat tidak seimbang, yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin Seperti wanita yang menjual kehormatannya demi ekonomi keluarganya.
Hal ini di akibatkan negara yang menerapkan sistem kapitalisme yang berlandaskan sekulerisme (memisahkan agama dalam kehidupan) sehingga sistem ini tidak ada pengaturan yang seadil-adilnya dan menciptakan kehaqiqi suatu negara serta menganut sistem demokrasi yang anutan tersebut merupakan sistem warisan penjajah.
Negara Indonesia ini memang sudah di ujung keresahan masyarakat bagi yang sadar akan hal perpolitikan. Sistem ini semakin lama diterapkan, semakin rusak generasi seterusnya.
Sistem bagaikan akar pada sebuah negara. Jika akarnya rusak, maka gagal dalam pertumbuhan pohonya bahkan tidak bisa berbuah dengan baik.
Negara Indonesia membutuhkan sistem yang haqiqi dan yang mengatur urusan masyarakat hingga ke akar-akarnya, sistem yang haqiqi yakni sistem Islam.
Islam mengatur segala aspek kehidupan, dari bangun tidur hingga bangun negara dan Indonesia akan maju bahkan bangkit dengan kembali pada fitrah yang sesungguhnya. Islamiah ideology modal besar kita bukan dengan mempertahankan sistem rusak yang menjadi genggaman pemilik modal.[MO/ad]
Tidak ada komentar