Untuk Rakyat, Anies Bakal Habis-habisan Hadapi Mafia, "Saya Disumpah Pakai Alquran, Bukan Buku Cek!"
Santun, dan selalu menjaga intonasi kelembutan suara serta ketepatan bahasa. Itulah Anies Baswedan, gubernur DKI Jakarta. Tapi, jika sudah sampai pada urusan rakyat, jangan coba main-main dengannya. "Saya disumpah pakai Alquran, bukan pakai buku cek," tegas Anies.
Kasus swastanisasi air minum misalnya. Sejak tahun 1997, urusan air di Jakarta diserahkan kepada swasta. Ada dua perusahaan; Aitra dan Palyja. Dua perusahaan yang saham mayoritasnya saat ini dikuasai oleh Salim group.
Di awal kontrak, persediaan air di Jakarta cukup untuk 44,5% penduduk. Tahun 2023, saat kontrak berakhir, targetnya 82%. Tapi, di tahun 2019 ini, setelah lebih dari 20 tahun kontrak, dua perusahaan ini hanya bisa menyediakan 59,4%. Hanya naik14,9%. Jadi, tersisa empat tahun kedepan target tak mungkin akan tercapai. Alias gagal! Mau diperpanjang 25 tahun lagi kedepan? Anies tegur Dirut PT PDAM. Gak sejalan, terpaksa Anies menggantinya, setelah diberi kesempatan selama tiga bulan.
Disamping itu, harga airnya begitu mahal. Modal cuma 680/meter kubik, dijual 7.500/meter kubik. Untung 1000% lebih. Target gak terpenuhi, 22% bagi untung terus didapat, fasilitas infrastruktur pakai punya PT. PAM JAYA DKI. Menang banyak!
Sementara 40,6% penduduk DKI tak dapat akses air bersih, karena pipanisasi tak kunjung dibuat oleh dua perusahaan swasta itu. Mereka mayoritas orang miskin yang terpaksa beli air bersih setiap harinya Rp. 20.000-30.000. Berarti, perbulan mereka harus keluarkan biaya untuk air bersih Rp. 600.000-900.000. Mahal sekali? Dan ini tidak akan terjadi jika pipa-pipa air bersih sampai ke rumah mereka.
Wajar jika rakyat menuntut. Pengadilan menjadi sarana KMMSAJ (Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta) yang mewakili lapisan masyarakat Jakarta menggugat. Gugatan diajukan tanggal 22 Nopember 2012. Bahkan hingga banding dan kasasi. Akhirnya, Mahkamah Agung buat keputusan stop swastanisasi air. Tepat!
Minta ngotot diperpanjang? Anies hentikan itu. Kepada dua PT itu Anies dengan santun bilang: tolong, jangan nyari duit disini. Di tempat lain saja. Kasihan rakyat yang miskin. Clear! Sisa kontrak yang masih empat tahun, lagi dicarikan mekanisme dan prosedur perdatanya untuk diambil alih.
Yang terpenting, keputusannya tegas: stop swastanisasi air, karena itu merugikan dan menambah beban bagi rakyat. Air bersih seharusnya bisa dinikmati rakyat secara gratis, atau kalau harus membayar, biayanya harus murah.
Selain urusan air, Anies juga stop pengembang yang ugal-ugalan. Sering terjadi demo warga rusun karena mahalnya iuran bulanan. Gak bayar? Listrik dan air diputus. Kejam sekali! Pengembang mengendalikan dan menentukan secara sepihak. Tak ada musyawarah, apalagi kompromi dengan warga rusun. Anies terbitkan Pergub No 132 Tahun 2018. Isinya bahwa pengelolaan rusun diserahkan sepenuhnya kepada warga rusun. Pengembang tak boleh lagi ikut campur, intervensi dan ambil untung disitu. Pengembang kehilangan income, pasti. Tentu saja ingin melawan. Anies siap hadapi. Demi rakyat, tak ada jalan untuk mundur.
Selain kasus air dan rusun, pajak bangunan di Jakarta juga dinilai sangat mahal. Terutama di daerah segitiga emas. Tamrin, Soedirman dan Gatot Subroto. Menteng dan sekitarnya masuk wilayah itu. Banyak pewaris rumah warisan tak mampu bayar pajak. Terpaksa, rumah warisan dijual, pindah ke daerah pinggiran. Depok, Bekasi, Tangerang dan Bogor adalah pilihan rumah murah dan pajaknya terjangkau. Kejam!
Rumah Ali Sadikin, mantan gubernur DKI di Menteng, pajak tahunnya sampai 180 juta. Berat! Ahli warisnya kerepotan bayar pajak. Kasus seperti rumah warisan Ali Sadikin ini cukup banyak.
Di Jakarta, banyak kasus rumah dijual gara-gara tak mampu bayar pajak. Ini pengusiran secara sopan, kata Anies. Siapa yang beli? Tentu orang-orang yang uangnya tak berseri lagi. Pribumi? Banyak yang tak punya uang segede harga rumah di tiga kawasan itu. Kecuali pejabat yang berhasil korupsi.
Selain rumah Ali Sadikin, banyak rumah warisan para pejuang yang disegel karena tak mampu bayar pajak. Anies ambil kebijakan, rumah para pahlawan PBB-nya digratiskan. Juga rumah para dosen dan guru. Dan rumah yang berusia 25 tahun diatur ulang (dimurahkan) pajaknya. Jangan sampai, mereka yang bangun Jakarta dan berjasa besar terhadap negara ini terus terusir karena aturan yang tak berpihak kepada mereka, kata Anies. Tidak boleh lagi terjadi ahli waris pejuang diusir dengan pajak, sementara banyak elit dan pengusaha yang ngemplang pajak dilindungi. Ini harus diberesin, tekat Anies.
Begitu juga soal aturan pengembang. Regulasi lama mewajibkan pengembang punya tanah minimal 4 ribu meter untuk membangun rusun, apartemen, perumahan dan sejenisnya. Kalau aturan ini tetap dipertahankan, maka hanya pengusaha raksasa yang bisa eksis. Pengembang kecil, atau rakyat kecil yang ingin belajar usaha properti tak akan mampu. Lihat ini, Anies rubah. Terbit Pergub yang memperbolehkan pengembang kecil yang punya tanah hanya seribu meter untuk bangun rusun, apartemen atau perumahan.
Semua kebijakan ini tak gratis. Ada biayanya yaitu risiko berhadapan dengan mafia tanah, properti dan proyek yang selama ini mereka diuntungkan oleh aturan dan kebijakan penguasa. Selama ini mereka cenderung ugal-ugalan dan terang-terangan menindas rakyat kecil dan lemah di Jakarta.
Anies hadapi! Risiko pemimpin, tak boleh ada ragu jika itu menyangkut kepentingan rakyatnya. Darah pahlawan sang kakek nampaknya mengalir ke tubuh Anies. Sampai disini, langkah Anies layak diapresiasi. Melalui otoritasnya, Anies punya i'tikad baik, dan tentu saja juga nyali, untuk menata ulang Jakarta dengan regulasi dan kebijakan yang memastikan posisi dan keberpihakannya kepada rakyat kecil.
Tony Rosyid*
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Tidak ada komentar