Menjadi Negara Paling Santai, Bahaya Mengintai?
Gambar: Ilustrasi |
Oleh : Mustina Ningsi, S.Si
(Pemerhati Sosial, Baubau)
Mediaoposisi.com-"Aku bahagia hidup sejahtera di khatulistiwa. Alam berseri-seri bunga beraneka. Mahligai rama-rama, bertajuk cahya jingga. Surya di cakrawala". (Chrisye)
Penggalan bait lagu yang populer di tahun 1949-2007 ini menggambarkan
panorama Nusantara nan indah permai. Tidaklah mengherankan jika negeri yang bergelar
Zamrud Khatulistiwa ini menjadi salah satu destinasi wisata, baik wisatawan lokal maupun
mancanegara. Bahkan hal ini telah menjadi pemahaman umum sejak masa
penjajahan Belanda hingga era digital ini.
Seolah mengamini hal di atas, belum lama ini Indonesia dinobatkan menjadi negara
paling santai di seluruh dunia. Dari lima belas negara, Indonesia menduduki peringkat teratas
mengalahkan Australia, Spayol dan negara-negara indah lainnya. Penobatan ini
dilakukan oleh salah satu agen perjalanan asal Inggris, lastminute.com berdasarkan penelitian terhadap berbagai faktor di suatu negara.
Misalnya banyaknya cuti tahunan, polusi suara dan cahaya, hak asasi manusia, budaya
dan banyaknya tempat spa atau retreat. Dituliskan bahwakata santai di sini dalam artian
positif, yaitu berhubungan dengan relaksasi dan cocok sebagai destinasi liburan.
(Tribuntravel.com, 26/01/2019)
Hampir senada dengan itu, negeri ini juga menduduki peringkat keempat sebagai
negara Instagrammable (layak dipamerkan fotonya di Instagram) di dunia, melampaui
Maladewa, India, Amerika Serikat, Dubai dan Singapura (bigseventravel.com). Dilansir
dari Kompas.com (22/01/2019), beberapa destinasi yang menjadi spot terbaik untuk diunggah
di Instagram, seperti Tanah Lot (Bali), Candi Borobudur (Magelang), Candi Uluwatu (Bali),
Pulau Gili, Gunung Bromo (Jawa Timur), dan Candi Prambanan (Jawa Tengah).
Bahaya Mengintai?
Berbagai macam peringkat dunia yang didapatkan oleh Indonesia semakin
menunjukkan bahwa pariwisata negeri ini sudah go-digital. Disatu sisi, sektor ini telah
memberikan sumbangan devisa untuk negara. Sebagaimana yang diungkap oleh Menteri Pariwisata, Arief Yahya, bahwa pariwisata merupakan industri yang paling mudah dan murah
menghasilkan devisa. Industri ini menduduki peringkat kedua penyumbang devisa terbesar setelah kelapa sawit.
Kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) sebanyak 9,06 juta atau tumbuh
13 persen dibanding tahun lalu. Kunjungan diharapkan makin meningkat dari tahun ke
tahun. Tentu saja ini membawa angin segar di tengah problematika defisit transaksi yang
masih berlangsung, (Republika.co.id, 12/10/2018).
Sebaliknya, Pratma Julia dalam salah satu videonya yang diunggah di Youtube
mengatakan bahwa Barat; melalui badan-badan internasionalnya seperti UNWTO (United Nation World Tourism Organization), World Travel and Tourism Council dan sebagainya; memang
bertugas mendikte negara-negara yang memiliki kekayaan alam seperti Indonesia untuk
menjadikan pariwisata sebagai devisa utama. Hal ini disebabkan karena kekayaan alam yang ada telah habis dikuasai asing, sehingga pemerintah harus mengandalkan devisa yang instan
untuk mendapatkan pendapatan negara. Termasuk memandirikan rakyat melalui sektor non formal.
Di sisi lain, makin gencarnya propaganda Indonesia sebagai destinasi pariwisata
terbaik membawa dampak yang membahayakan negeri ini. Pasalnya, kunjungan wisman
ini dibarengi dengan masuknya budaya Barat yang permissive dan liberal. Pergaulan
bebas, minuman keras, dan pakaian minim; adalah beberapa contoh budaya yang dibawa oleh
mereka. Leisure dan Ecomony (mengumpulkan dana untuk keperluan wisata)
telah mempengaruhi gaya hidup pribumi.
Belum lagi adanya kekerasan dan eksploitasi seksual di beberapa destinasi wisata.
Anak-anak akan rentan terpapar perilaku yang dibawa oleh para wisatawan yang datang.
Banyak dari mereka yang sengaja datang ke tempat wisata tersebut bukan untuk menikmati
pariwisatanya tapi mencari jasa layanan seksual, termasuk mencari anak-anak yang bisa melayani hasrat seksual mereka. Hal ini didasarkan pada studi yang dilakukan oleh ECPAT
Indonesia di empat daerah yaitu di Kabupaten Karang Asem (Bali), Kabupaten Gunung
Kidul (Jogjakarta), Kabupaten Garut, (Jawa Barat), dan Kabupaten Toba Samosir
(Sumatera Utara). (Republika.co.id, 24/07/2017).
Terjadinya hal-hal seperti tersebut di atas bisa dikembalikan kepada negara yang
menjadikan sekularisme-kapitalisme sebagai asas menegakkan aturan kehidupan. Selain
dorongan ekonomi yang tak pernah puas mengeksploitasi alam dan manusia, perilaku liberal membuat manusianya menjadikan dunia sebagai tempat bersenang-senang. Sehingga liberalisme tidak akan pernah bisa dihilangkan di negara yang menganut ideologi ini. Karena
kebebasan merupakan ruh bagi peradabannya.
Dan kita semua harus sadar bahwa pengarusan sektor pariwisata ini memiliki bahaya
yang sangat besar. Tidak hanya dari aspek sosial budaya, tapi juga dari aspek ekonomi. Dan
yang lebih mengerikan dari semua itu adalah tercerabutnya kedaulatan politik negeri ini sebagai
negara bermartabat.
Pariwisata dalam Timbangan Syariat
Islam memandang pariwisata sebagai suatu hal yang dibolehkan. Hanya saja aspek ini
tidak dijadikan sebagai sumber devisa utama. Karena keuangan negara, dalam hal ini
baitul mal, memiliki sumber pemasukan tetap yaitu fai�, ghanimah, anfal, kharaj, jizyah dan pemasukan dari hak milik umum dengan berbagai macam bentuknya. Pemasukan umum
tersebut diantarnya pemasukan dari hak milik negara, usyur, khumus, rikaz, tambang serta harta zakat. Khusus zakat, diperuntukkan untuk delapan golongan yang disebutkan dalam
al Quran.(Taqyuddin an Nabhani, Nidzomul Iqttishodi fiil Islam).
Destinasi wisata yang ada di dunia Islam hanya ditujukan untuk dua hal. Pertama,
sebagai sarana dakwah untuk mempertinggi keterikatan manusia kepada Allah. Salah satunya
dengan tadabbur alam. Kedua, sebagai propaganda untuk menunjukkan bukti kebesaran
negara Islam.
Dengan demikian, negara tidak akan mentolerir nilai-nilai budaya yang bertentangan
dengan Islam sehingga liberalisasi sosial budaya tidak akan terjadi. Sedangkan dari segi
ekonomi, negara bisa mandiri tanpa menggantungkan diri pada negara lain. Jika hal ini terjadi
maka negara akan berdaulat secara penuh.
Wallahu 'alam bisshowab [MO/re]
Tidak ada komentar