Kriminalisasi Gus Nur : Bukti Rezim Jokowi Represif, Anti Islam & Ulama
[Catatan Hukum Advoksi Gus Nur]
Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Ketua LBH PELITA UMAT
Mediaoposisi.com-Hari ini Selasa (19/2) Penulis berada di Surabaya untuk mendampingi Sugi Nur Raharja alias Gus Nur alias Cak Nur untuk serah terima berkas perkara dan Tersangka, dari Penyidik kepada Jaksa Penuntut Umum. Beberapa waktu yang lalu, penyidik Polda Jatim mengirim surat panggilan dan menerangkan berkas sudah lengkap (P-21) dan selanjutnya akan dilimpahkan kepada Jaksa Pengadilan Tinggi Jawa Timur.
Ada yang unik dibalik pelimpahan ini. Sebelumnya, kami datang kepada Ditjen Imigrasi Kementrian Hukum dan HAM R.I., mempersoalkan ihwal penarikan paspor sementara Gus Nur. Padahal, Gus Nur telah selesai mengurus izin tinggal (Visa) ke Australia. Ada setidaknya, empat kota di Australia yang sejak lama mengajukan permohonan kepada Gus Nur untuk mengisi ceramah agama dalam rangkaian safari dakwah di Australia.
Awalnya kami menduga permintaan penarikan paspor sementara dilakukan oleh penyidik Kepolisan daerah Sulawesi Tengah. Sebab, di Polda Sulteng ini Gus Nur telah ditetapkan sebagai Tersangka berdasarkan ketentuan pasal 28 ayat (2) Jo. Pasal 45A ayat (2) UU No. 19 tahun 2016 tentang perubahan UU No. 11 tahun 2008 tentang ITE, atas tudingan menebar kebencian dan permusuhan berdasarkan SARA yang ancamannya 6 (enam) tahun penjara.
Berdasarkan ketentuan pasal 25 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 8 Tahun 2014 tentang Paspor Biasa dan Surat Perjalanan Laksana Paspor, disebutkan :
"Penarikan Paspor biasa dapat dilakukan kepada pemegangnya pada saat berada di dalam atau di luar wilayah Indonesia. Penarikan Paspor biasa dilakukan dalam hal:
a. pemegangnya telah dinyatakan sebagai tersangka oleh instansi berwenang atas perbuatan pidana yang diancam hukuman paling singkat 5 (lima) tahun atau red notice yang telah berada di luar Wilayah Indonesia; atau
b. masuk dalam daftar Pencegahan".
Awalnya kami menduga, penyidik Polda Palu yang melakukan permintaan penarikan paspor sementara Milik Gus Nur. Setelah kami klarifikasi ke Ditjen Imigrasi ternyata penarikan sementara dilakukan atas permintaan penyidik Polda Jatim.
Padahal, di Polda Jatim Gus Nur menjadi tersangka atas kekuatan pasal 27 ayat (3) Jo. Pasal 45 ayat (3) UU ITE, dituding melakukan pencemaran nama baik dimana ancaman pidananya hanya 4 (empat) tahun penjara. Karena ancaman pidana dibawah 5 tahun, secara objektif seharusnya penyidik Polda Jatim tidak memiliki kewenangan untuk meminta penarikan paspor Gus Nur Kepada Ditjen imigrasi.
Penyidik Polda Jatim juga tidak pernah memberitahukan status cekal kepada Gus Nur, padahal menurut Ditjen imigrasi jika permintaan penarikan paspor karena status cekal, penyidik wajib memberitahu status cekal kepada Gus Nur. Penarikan paspor tanpa pemberitahuan cekal, juga bukan atas status tersangka yang ancaman pidananya diatas lima tahun adalah bertentangan dengan hukum.
Awalnya kami tim kuasa hukum dari LBH PELITA umat hendak mempersoalkan secara hukum status penarikan paspor yang tidak sesuai hukum, tidak prosedural dan inkonstitusional. Hanya saja, karena kebutuhan Gus Nur adalah memenuhi akad dakwah di Australia, dan atas saran dari Ditjen imigrasi, kami urung mempersoalkan tindakan penyidik yang melanggar hukum dan mengambil opsi mengalah.
Kami kemudian mengikuti saran dari Ditjen Imigrasi untuk mengajukan permohonan ijin kepada penyidik Polda Jatim agar status cekal dan pencabutan paspor sementara bisa ditangguhkan untuk 7 (tujuh) hari, agar Gus Nur bisa menuntaskan amanat dakwah di Australia. Meskipun, ada agenda lain selain dakwah di Australia yakni rencana melaksanakan ibadah umroh. Hanya saja Gus Nur ridlo menunda ibadah umroh dan meminta kepada kami untuk mengurus permintaan izin kepada penyidik agar bisa melaksanakan amanat dakwah di Australia.
Ala kuli hal, kami kemudian menemui penyidik Polda Jatim untuk mengirim langsung surat permohonan izin ke Australia. Tanggal 8 Februari 2019 kami mengirim surat. Namun bukannya mendapat izin untuk ibadah ke Australia, surat kami direspons oleh penyidik Polda Jatim dengan mengadakan press conference pada tanggal 12 Februari 2019 dengan menyatakan berkas Gus Nur telah lengkap (P-21).
Tidak berselang lama, kami mendapat surat dari penyidik untuk melakukan pelimpahan berkas dari polda Jatim ke Kejati Jatim, yang akan dilaksanakan hari ini, Selasa tanggal 19 Februari 2019. Perlu kami informasikan, selain kasus di Polda Jatim dan Polda Sulteng, Gus Nur juga dipersoalkan secara hukum melalui Kepolisian Resort Kota Besar Surabaya.
Demikianlah hukum yang berjalan di negeri ini. Gus Nur ditarget dengan 3 (tiga) kasus sekaligus. Kriminalisasi terhadap Gus Nur ini tidak dapat dilepaskan dari sikap politik Gus Nur yang secara terbuka mengkritik kezaliman rezim Jokowi.
Kasus Gus Nur seolah dipercepat, sebagaimana kasus KH. Slamet Ma'arif yang dipersoalkan dengan pidana pemilu di Polresta Solo, meski pemeriksaan dipindahkan ke Polda Jateng. Gus Nur, KH Slamet Ma'arif, dan ulama-ulama kritis lainnya ditarget rezim, karena posisi oposan mereka berpotensi menggerus elektabilitas rezim.
Kasus-kasus hukum yang bernuansa politik ini secara umum hanya menimpa ulama, tokoh Islam, aktivis yang kontra rezim. Belum bahkan tidak ada kasus hukum yang menimpa tokoh atau ormas non Islam. Karenanya wajar jika publik membuat kesimpulan, rezim saat ini cenderung represif, anti Islam dan ulama.
Sedih sekali melihat proses penegakan hukum di negeri ini. Hukum tidak lagi digunakan untuk menegakan keadilan. Hukum telah berubah menjadi alat politik, alat untuk menggebuk lawan politik, alat untuk melindungi kawan kepentingan. Hukum tidak lagi berlaku secara equal, hukum tidak lagi berjalan diatas asas Due procces of Law yang adil, transparan dan imparsial.
Intervensi kekuasaan politik terhadap hukum nampak terlihat kasat mata. Publik, bahkan awam pun bisa menilai bahwa hukum di negeri ini tajam kebawah, tumpul keatas. Tajam kepada lawan politik, namun tidak bertaji terhadap sesama mitra politik dan para penguasa.
Meskipun demikian, umat tidak boleh ciut. Semua ulama dan aktivis Islam tetap wajib menjalankan aktivitas dakwah, menyeru kepada yang Ma'ruf dan mencegah kepada yang munkar. Penguasa yang zalim harus terus dikritisi agar tidak menimbulkan dampak mudhorot lebih besar kepada umat.
Kami dari LBH PELITA Umat akan terus berkomitmen membela ulama, habaib, para aktivis Islam dari pembungkaman dan kezaliman rezim. Semoga, rezim yang represif dan anti Islam dibawah kendali Jokowi ini, segera Allah SWT angkat dan ganti dengan menurunkan pemimpin yang adil, semoga. [MO|ge]
Tidak ada komentar