Breaking News

Kolom Agama pada E-KTP boleh kosong atau di isi dengan "Kepercayaan Terhadap Tuhan YME"


Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan gugatan penghayat kepercayaan di Indonesia, terkait Undang-Undang Administrasi Kependudukan pada November 2017 lalu. 

Permohonan uji materi diajukan Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba, dan Carlim dengan nomor perkara 97/PUU-XIV/2016. 

Para pemohon sebelumnya menilai, ketentuan di dalam UU Adminduk itu dinilai tidak mampu memberikan jaminan perlindungan dan pemenuhan hak yang sama kepada penganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa atau penghayat selaku warga negara. 

Selama ini, para penghayat kepercayaan, seperti Sunda Wiwitan, Batak Parmalim, dan Sapto Darmo, mengalami diskriminasi dalam mengakses layanan publik karena kolom agama dalam KK dan KTP mereka dikosongkan. 

Dalam permohonannya, Nggay dan kawan-kawan meminta Majelis Hakim MK menyatakan Pasal 61 Ayat 1 dan Pasal 64 Ayat 1 UU Adminduk bertentangan dengan UUD 1945. Alasan pemohon, pasal-pasal yang diuji itu tidak mengatur secara jelas dan logis sehingga menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda dan melanggar hak-hak dasar yang dimiliki warga negara.


MK mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya. Kedua, menyatakan kata 'agama' dalam Pasal 61 Ayat (1) dan Pasal 64 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk aliran kepercayaan.

Sebagai konsekuensinya, pemerintah wajib melakukan banyak perubahan. Tapi, peran masyarakat pun dinilai sama pentingnya. Perubahan kebijakan kolom agama di kartu penduduk untuk penganut kepercayaan dilakukan setelah ada keputusan MK tersebut yang mengabulkan permohonan uji materi terkait ketentuan pengosongan kolom agama di KTP dan KK.

Penerbitan e-KTP baru ini menjadi bukti pengakuan negara terhadap para penghayat kepercayaan. Sebab sebelumnya, mereka selalu "bersembunyi" di bawah agama resmi pemerintah. Selama ini karena peraturan negara belum ada, banyak yang ikut ke agama lain demi mendapatkan hak-hak sipil, seperti pernikahan, pendidikan.

Sekarang ketika pemerintah sudah memenuhi semua kebutuhan hak-hak sipil warga penghayat, pembuktiannya dengan identitas KTP, tidak perlu lagi pinjam-pinjam agama lain. (Eko Prayitno).

Tidak ada komentar