Breaking News

Fakta Sejarah : China Kuasai Negara Lain Melalui Megaproyek dan Tenaga Kerjanya


Musim gugur 1950, pasukan tentara merah Cina menguasai Tibet�negeri di atas angin yang dipimpin Dalai Lama. Dari penyerbuan inilah pertikaian Cina-Tibet bermula.

Setahun kemudian, pimpinan Tibet, Dalai Lama ke-14, Tenzin Gyatso, didongkel dari jabatannya. Sementara Cina mengangkat pemimpin baru di Tibet. Tibet terpecah belah. Gejolak politik memanas.

Pada 17 Maret 1959, tentara Cina hendak menangkap Dalai Lama guna menguasai Tibet sepenuhnya. Tapi Dalai Lama ke-14 itu berhasil meloloskan diri dan mendirikan semacam pemerintahan pelarian di Dharamsala, India sampai hari ini. Sejak itu pula Cina mengklaim Tibet sebagai wilayah resminya.

�Sejak Cina mencaplok Tibet pada tahun 1951 dan pemimpin agama dan politik, Dalai Lama, melarikan diri ke pengasingan di India, pemerintah pusat telah menyuntikkan dana lebih dari 648 miliar yuan atau setara 100 miliar dolar AS untuk wilayah tersebut,� demikian sebut Bloomberg pada Desember tahun lalu.

Subsidi Beijing ini digunakan untuk sejumlah megaproyek infrastruktur paling penting bagi peradaban modern: listrik, transportasi, dan teknologi informasi.

PLTA di Tibet

Untuk memenuhi target energi terbarukan, Cina�meski sudah menjadi negeri paling produktif menghasilkan pembangunan bendungan di dunia�masih terus memanfaatkan lebih banyak lagi tenaga air.

Di Tibet, megaproyek  bendungan raksasa itu ditempatkan di  sungai Yarlung Tsangpo Dataran Tinggi Tibet. Sungai ini merupakan hulu dari sungai Brahmaputra yang mengalir ke hilir di India dan Bangladesh.

The Guardian pada 2010 pernah melaporkan, Cina merencanakan proyek pembangkit listrik tenaga air (PLTA) itu bisa menghasilkan listrik sebesar 38 gigawatt.

Kereta Api di Tibet

Selain proyek gigantis PLTA, Cina telah membangun jalur rel kereta sepanjang 3.757 km membelah Himalaya untuk mengubungkan Beijing ke ibukota Tiber, Lhasa. Proyek ini telah diresmikan pada 2006 lalu ini dan dinilai sebagai proyek prestius karena melewati ketinggian 5072 m di atas permukaan laut di Tanggula Pass. Tanggula pas menjadi stasiun tertinggi yang bisa dilintasi kereta api di dunia.

Jalur kereta api ini juga didukung dengan sistem telekomunikasi mobile dengan cakupan area mencapai 80 persen di sepanjang  jalur dan diperkirakan akan mencapai 95 persen di masa depan. Penumpang kereta dapat mengirim dan menerima pesan dan panggilan dengan ponsel pada di sepanjang perjalanan menuju ke �Atap Dunia� Tibet.

Tapi Cina belum puas dengan pencapaian itu. Maret tahun ini, pemerintah Cina telah bersepakat menghubungkan jalur kereta api dari Tibet ke Nepal.


Dampak bagi Tibet

Laporan Tibet Watch (2014), organisasi hak asasi manusia di Tibet, menjelaskan bahwa kini Tibet telah berubah. Sejumlah proyek seperti listrik, kereta api, bandara, dan jaringan telekomunikasi telah mengubah kebudayaan Tibet. Cina telah mengubah Tibet yang tradisional menjadi tontonan para turis.

Di akhir laporannya yang berjudul �Culture Clash: Tourism in Tibet�, Tibet Watch berkesimpulan bahwa banyaknya proyek-proyek Cina di Tibet telah berdampak negatif pada masyarakat lokal, lingkungan, situs fisik, praktik agama, serta budaya tradisional. Pendek kata, Cina hanya mengeksplorasi Tibet dari alam hingga manusianya.

Senada dengan laporan Tibet Watch, Cutural Survival�lembaga nirlaba pendukung kelangsungan budaya Masyarakat Adat menyebutkan banyak orang Tibet tidak memperoleh manfaat ekonomi dari masuknya wisatawan ke wilayah mereka.

Sebagian besar pekerjaan yang diciptakan oleh pembangunan pariwisata di Tibet hanya untuk pekerja migran asal Cina.

�Sementara sebagian besar pendapatan yang dihasilkan dari peningkatan jumlah wisatawan Cina mengalir kembali ke Cina,� demikian sebut lembaga itu.

(tirto.id - agu/nqm)


Tidak ada komentar