Sekeping Informasi Dalam Hasil Survei
SENTIMEN negatif! Koran Kompas jadi bulan-bulanan, setelah merilis hasil survei Pilpres yang menempatkan selisih antara dua pasang menjadi lebih pendek, pada rentang 11 persen saja.
Padahal melalui sekian banyak hasil survei jarak elektabilitas kedua pasangan seolah dipatok di angka lebih dari 20 persen. Lalu dimana salah Kompas? Kesalahan terbesarnya adalah melawan ekspektasi pendukung petahana. Itu jelas berbahaya bagi surat kabar sekelas Kompas.
Jika kemudian dibaca lebih serius, hasil temuan Kompas sesungguhnya tetap menempatkan incumbent dalam posisi sebagai pemenang, meski selisih jarak terpangkas. Dalam logika rasional, mengingat jarak pencoblosan yang semakin mendekat, maka seolah mustahil bagi oposisi untuk melahap gap elektabilitas.
Putaran akhir yang mendekati hari pemilihan, masih menyisakan kampanye terbuka dan sesi debat. Tenggat yang terbilang dekat tersebut, harus dapat optimalisasi oleh kedua kubu, yaitu; (a) mengkonsolidasikan basis suara bagi petahana yang dinyatakan unggul di banyak survei, dan (b) massifikasi tarikan dukungan bagi oposisi, dengan target swing voters, baik bagi undecided maupun pemilih yang masih mungkin berubah.
Sejatinya, terdapat kepingan informasi dari survei Kompas, sebagaimana hasil-hasil lembaga survei yang telah lebih dahulu merilis dan mempublikasikan temuannya ke publik. Keberadaan survei, layaknya puzzle yang merupakan informasi berserakan, perlu disusun ulang untuk mendapatkan tangkapan gambar yang merepresentasikan realitas.
Apakah bisa dipercaya? Tergantung pilihan dan selera Anda. Terlebih harus dipahami survei adalah metodologi statistik secara kuantitatif, untuk melakukan pengukuran atas suatu tujuan tertentu. Titik lemah survei merentang dari persoalan pengambilan sampel, bentuk pertanyaan hingga perumusan kesimpulan hasil survei.
Pada level terpisah, survei secara kuantitatif tidak bisa menghitung perasaan yang cenderung disembunyikan dari pernyataan terbuka. Apalagi jika sebuah survei dominan dengan jenis pertanyaan tertutup, pilihan jawaban hanya iya dan tidak. Jelas bahwa aspek perasaan mewakili indikator kualitatif dan perilaku publik harus dipahami, sebagai hal dinamis yang berubah dari waktu ke waktu.
Hal tersebut menjadi kelemahan lain dari survei, yakni tentang pergerakan isu yang muncul pada periode menjelang pencoblosan. Memori kolektif memiliki kecenderungan untuk lekat dengan momentum terdekat, pada ingatan jangka pendek. Maka potensi keunggulan ataupun blunder yang akan terjadi di waktu-waktu akhir, menjadi penentu sekaligus pembeda.
Pesan dalam Opini Survei
Pada aspek komunikasi, survei adalah bentuk medium bagi upaya penyampaian pesan. Dimana maksud dalam makna pesan, dibingkai dengan menggunakan ukuran nominal, penuh dengan angka seolah menandakan ketepatan alias akurasi. Tapi ingat, survei tidak sama sekali bebas nilai, justru bisa dijadikan sebagai alat kepentingan tertentu.
Survei memiliki korelasi dengan upaya pembentukan opini, karena hasil temuan survei dibahas melalui berbagai kanal saluran komunikasi massa. Konsumsi hasil survei menjadi pembicaraan publik, dan tentu saja ada upaya penggalangan pendapat publik. Hasil survei Kompas sesungguhnya dalam bentuk yang sangat halus hendak berbicara "Jokowi Tetap Unggul".
Situasi tersebut justru tidak tertangkap oleh para pembaca emosional, yang menghendaki Jokowi menang dalam nilai mutlak. Sebagaimana penjelasan di awal, hasil survei Kompas mengkonstruksi sekaligus memberi pondasi bagi kepentingan petahana. Kita maklum bila media massa bersifat partisan, baik secara terbuka atau tersamar.
Pesan survei juga bisa sangat tergantung pemesannya. Siapakah itu? Pemilik kepentingan yang bekerjasama dengan lembaga survei. Lalu siapa yang berkepentingan disini? Bisa jadi para aktor politik yang terlibat dalam kontestasi. Apakah akan memberi pengaruh signifikan atas elektabilitas? Perlu ditunggu hasil akhirnya, tetapi perilaku publik kerap gagal dipotret akhir-akhir ini karena amplifikasi teknologi.
Kehadiran sosial media menambah ruang bising dan keberlimpahan informasi terjadi, perlahan menggantikan media massa konvensional. Meski aspek kredibilitas tidak lagi jadi hal penting di sosial media, tetapi kanal tersebut mewakili sumbatan aspirasi publik yang tidak terekspresikan.
Jadi, ya hasil survei Kompas bisa dipandang secara interpretatif secara berbeda, membawa pesan yang juga dapat dibaca terpisah. Dalam aspek konten, temuan survei tersebut perlu dicermati dengan baik. Terlebih pada konteks konstelasi kompetisi politik, maka perlu dilihat amplifikasi opini atas hasil survei sebuah media massa bisa di-counter melalui sosial media. Dan kita melihat situasi tersebut sekarang.
Lalu pemenang adalah mereka yang dapat mempertahankan momentum dan ruang gaung di tengah publik, untuk menyampaikan pesan secara efektif bagi perluasan dukungan bagi kandidat lebih dari sekedar hasil survei. Soal hoax, kita bersepakat mengutuknya, tapi kerap berstandar ganda dalam menyikapinya!
Yudhi Hertanto
Mahasiswa program doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid.
SUMBER
Tidak ada komentar