Pengamat: Miskinkan Koruptor Tidak Cukup, Perlu Hukuman Mati
NUSANEWS - Peneliti dari Formappi Lusius Karus mengemukakan praktik suap dan korupsi yang melibatkan elite partai politik (Parpol) selama ini sebagai bukti bahwa ada korelasi kuat antara parpol dengan aksi suap dan korupsi yang terjadi. Dengan modus yang sudah nampak umum, tampaknya korupsi elite parpol memang tak bisa dibaca semata-mata karena kebutuhan individu, tetapi ada pemaksaan dari parpol. Masalahnya apa yang membuat parpol perlu memaksa elitenya untuk korupsi atau suap.
"Parpol kita pada umumnya masih oligarkis. Hanya mereka yang punya modal yang umumnya bisa mendirikan parpol sekaligus menjadi semacam pemilik parpol. Tata kelola parpol yang sejak awal bergantung penuh pada sumber daya pemilik membuat parpol tak lebih dari semacam organisasi swasta atau korporasi," kata Lusius di Jakarta, Kamis (21/3/2019).
Ia menanggapi terus maraknya penangkapan kasus korupsi untuk elite partai. Terakhir adalah operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK terhadap Ketua Umum PPP M Romahurmuziy alias Romy dalam kasus jual-beli jabatan di Kementerian Agama (Kemnag).
?
Lusius menjelaskan dengan model tata kelola seperti yang ada sekarang ini, parpol memang sejak awal didesain untuk menjadikan uang sebagai senjata agar survive dan terlebih untuk memastikan bisa meraih kekuasaan. Uang pada proses selanjutnya tidak bisa diharapkan muncul dari sumber pribadi ketua atau elite parpol seperti dari bidang usaha mereka. Di sisi lain, kebutuhan parpol akan dana yang besar semakin tinggi seiring dengan kesibukan parpol menjalankan aktivitas politiknya terutama dalam rangka memenangi persaingan pada saat Pemilu.
"Berharap dana yang terkumpul dari iuran atau bantuan biasa dari kader parpol, jelas tak memadai untuk memenuhi kebutuhan politik partai. Di saat yang bersamaan, kekuasaan yang diperoleh parpol melalui sejumlah kadernya di pemerintahan menjadi peluang emas untuk mendapatkan sumber dana. Nah inilah yang selanjutnya menjadi andalan parpol. Nampaknya bukan hanya satu dua partai saja yang memanfaatkan celah tersebut. Hampir semua parpol lama nampaknya sudah punya pengalaman dengan pencarian sumber dana ilegal melalui suap dan korupsi dana APBN dengan aneka modus yang ada," jelas Lusius.
?Di tempat terpisah, pengamat komunikasi politik dari Universitas Bunda Mulia (UBM) Jakarta, Silvanus Alvin mengemukakan kasus-kasus korupsi yang ada selama ini tidak bisa menjadi alasan bagi pemerintah untuk membiayai sepenuhnya ongkos politik parpol. Karena, inti masalah dari korupsi adalah ketamakan. Hal itu sulit terdeteksi dan sulit dihilangkan.
Selain ketamakan, para elit politik masih cenderung menempatkan diri sebagai raja kecil. Di dalam pengandaian tersebut, mereka menginginkan adanya upeti-upeti dan ingin dihormati serta disanjung.
"Memiskinkan koruptor dengan penerapan tindak pidana pencucian uang belum cukup. Dalam situasi seperti sekarang ini, perlu ada langkah ekstrem yaitu hukuman mati bagi para koruptor," kata Alvin.
Dia melihat korupsi tidak bisa diselesaikan setengah-setengah, tetapi harus tuntas ke akarnya. Kalau ancamannya adalah hukuman mati, maka para koruptor akan ketakutan.
"Indonesia perlu mencontoh Tiongkok. Hukuman mati sudah ditetapkan sejak rezim presiden pertama sekaligus pendiri Republik Rakyat Tiongkok, Mao Tse Tung atau biasa dikenal Mao Zedong. Indonesia perlu sekali menerapkan kata-kata dari mantan Perdana Menteri Tiongkok Zhu Rongji yang dikenal sebagai penyelamat uang rakyat," ujar Alvin.
Dia menegaskan bila hukuman mati mau diterapkan, sebaiknya diberikan waktu lebih dulu seperti corruption amnesty. Dengan catatan para pelaku korupsi ini mengakui kesalahan, jadi justice collaborator, mengembalikan uang yang sudah dicuri dan menjalani hukuman minimal.
Dia menambahkan? maraknya kasus korupsi yang terjadi sebagai bentuk dari politik balas budi. Jabatan yang diperoleh adalah hasil utang budi, di dalamnya terkandung materi dan non-materi, sehingga pada titik tertentu itu harus dikembalikan.
SUMBER
Tidak ada komentar