Breaking News

Elektabilitas Tinggal Nol Koma Sembilan, Hanura Serang Survei Kompas


Garda Keadilan - Partai Hanura diprediksi terpental dari Senayan berdasarkan survei Litbang Kompas terkait Pileg 2019. Hanura lantas menyerang Kompas dan mempertanyakan survei tersebut.

"Jadi ada dugaan rekayasa demi kepentingan Prabowo-Sandi tersebut sangat kasatmata," kata Ketua DPP Hanura Inas Nasrullah Zubir kepada wartawan, Kamis (21/3/2019).

Menurut Inas, survei Kompas mengakomodasi kepentingan koalisi Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Alasannya, dalam survei, tren elektabilitas partai-partai koalisi Prabowo-Sandiaga cenderung naik.

"Kalau kita perhatikan bahwa partai-partai pendukung Prabowo-Sandi hasil surveinya naik semua. Contoh PKS, dari 3,3 persen di Oktober 2018, ujug-ujug menjadi lolos PT, yakni 4,5 persen di Maret 2019," ujar Inas.

Dia yakin Hanura melenggang ke Senayan pada Pileg 2019. Inas menyatakan Hanura telah melakukan survei internal. Hasilnya, kata dia, elektabilitas Hanura hampir menyentuh parliamentary threshold sebesar 4 persen.

"Hanura sudah melakukan survei dengan menggunakan perusahaan independen yang terkenal dan terdaftar, di mana angka persentasenya walaupun belum mencapai PT tapi tidak jauh. Oleh karena itu, kita terus melakukan penguatan dapil agar bisa menembus PT tersebut," tegas Inas.

Survei Litbang Kompas digelar pada 22 Februari-5 Maret 2019 dengan melibatkan 2.000 responden yang dipilih secara acak menggunakan metode pencuplikan sistematis bertingkat di 34 provinsi di Indonesia. Margin of error survei ini plus-minus 2,2 persen dengan tingkat kepercayaan 95%.

Litbang Kompas membandingkan perolehan suara parpol di Pemilu 2014, elektabilitas pada Oktober 2018, dan elektabilitas pada Maret 2019. 

Berikut ini elektabilitas Hanura dalam tiga waktu tersebut:
Pemilu 2014: 5,3%
Oktober 2018: 1%
Maret 2019: 0,9% 

Kompas Pastikan Independen

Pemred Kompas, Ninuk Pambudy, telah memberikan penjelasan soal metodologi hingga hasil survei itu. Kompas menegaskan independen dalam menyelenggarakan survei. 

"Kami memang dari waktu ke waktu selalu melakukan polling dan survei untuk elektabilitas. Survei ini pertama kita lakukan Oktober tahun lalu. Pertama-tama pertanyaannya tentang tendensi. Kompas selalu menjaga profesionalitasnya dan mencoba untuk terus-menerus independen dalam liputannya," kata Ninuk saat dihubungi detikcom, Rabu (20/3/2019)

Ninuk menjelaskan posisi Litbang Kompas yang ada di bawah redaksi tapi tetap independen. Litbang Kompas menentukan metodologi sendiri, memilih tenaga survei sendiri, dan pembiayaan berasal dari Kompas sendiri.

"Bahkan pimpinan di atas saya pun tidak bisa apa-apa terhadap survei ini," ucapnya. 

Ninuk menjelaskan soal perbedaan survei Litbang Kompas dengan hasil survei lembaga lain. Sampel survei Litbang Kompas sebanyak 2.000 responden, bisa jadi sama dengan jumlah responden lembaga survei lainnya. 

"Metodologi yang dipakai oleh Kompas itu sampelnya memang 2.000 responden, terus kita memilih 500 kelurahan dan desa. Di tiap kelurahan dan desa itu kita ambil 4 responden dengan sebaran itu. Sebarannya berdasarkan proporsi penduduk dan ditambah juga ada data-data dari BPS. Jadi potensi-potensi desa dan kelurahan itu kita ambil dari data resminya BPS," jelas Ninuk. 

Ninuk menolak survei Litbang Kompas ini dibandingkan dengan lembaga survei lainnya. Dia menjelaskan perbedaannya.

"Saya tidak mau dibandingin dengan lembaga survei lain. Kompas kan bukan lembaga survei, survei yang dilakukan Kompas ini untuk mendukung jurnalismenya Kompas sehingga menjadi lebih akurat dan presisi. Jadi, kalau mau dibandingin dengan lembaga survei lain, ya kita sebetulnya bukan lembaga survei," ungkapnya. [detik.com / Gelora]

Tidak ada komentar