POS-METRO.COM - Dalam beberapa hari ini muncul �serangan� terhadap lembaga Majelis Ulama Indonesia (MUI). Banyak yang menyatakan tindakan ini adalah upaya perlawanan akibat MUI mengeluarkan fatwa bahwa Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) telah menghina Alquran surat Al Maidah 51 dan ulama.
Serangan terhadap MUI itu tersebar di dunia maya. Salah satunya ada dalam petisi �Presiden Joko Widodo: Bubarkan MUI� yang beredar di change.org. Petisi ini kini sudah ditandatangi 10.284 orang pada 18/10, pukul 21.13 WIB.
Pengamat sosial Fachry Ali mengatakan tuntutan pembubaran MUI berbahaya. Sebab, bila sampai terwujud maka hanya akan membawa malapetaka bagi bangsa Indonesia.
Berikut wawancara Republika.co.id (R) dengan Fachry Ali (FA).
R: Bagaimana anda melihat peran ulama dalam kancah kebangsaan Indonesia?
F: Sebenarnya peran ulama dalam kancah politik itu memerankan sikap seorang begawan. Mereka turun tangan ketika situasi negara di dalam situasi krisis. Di mana dalam kondisi ini lorong penyelesaian masalah seperti tidak ditemukan lagi.
Pada kondisi ini berbagai kekuatan politik terlibat dalam situasi saling mengunci. Berbagai kekuatan politik ini tak dapat lagi menjaga jarak serta terperangkap di dalam permainan semua yang mereka buat sendiri.
Maka pada saat itu ulama turun tangan, dalam artian bukan dalam mengambil kekuasaan. Tapi mengambil �jalan moral� untuk menunjukkan jalan bagi para pemangku kepentingan yang sudah gelap mata itu. Tujuannya biar cahaya terang yang berada di ujung �lorong keruwetan� bisa terlihat secara jelas.
Jadi ulama memang harus menunjukan bahwa hidup itu punya tujuan. Bukan hanya sekedar melayani pertarungan-pertarungan kepentingan profan yang selama ini terjadi. Ulama menunjukan cara itu melalui referensi yang diyakininya dengan menunjukan bahwa mereka tak punya kepentingan apa-apa.
R: Bagaimana anda melihat peran MUI selama ini?
F: MUI itu penjaga moral (the moral guardian) dan menjaga sikap keberagamaan yang diyakini benar. Dan sikap ini tak bisa dibeli dengan apa pun. Ini karena pendapat (fatwa) mereka dikeluarkan berdasarkan keyakinan yang sifatnya imaterial.
Nah, bila sekarang ada soal tafsir Alquran surat Al Maidah 51, maka konteksnya karena MUI adalah ahlinya maka sikapnya yang tepat adalah menyerahkan pendapat kepadanya. Bila MUI berpendapat maka itu pasti berdasarkan keyakinan mereka atas teks-teks tersebut.
Nah, saya melihat dalam soal ini MUI tak berpolitik dan tak bersikap macam-macam. Sikap ini dibuktikan pun telah dibuktikan dengan tidak adanya anggota MUI yang kini masuk dalam politik praktis atau politik kekuasaan.
R: Bagaimana sikap anda mengenai munculnya tuntutan pembubaran MUI?
F: Dalam soal ini maka tolong ingat pada pengalaman buruk yang pernah dialami orang Aceh. Pada saat zaman Orde Baru, kala itu oleh pihak penguasa sebagian besar ulama di Aceh dimasukkan ke dalam Golkar. Dan sebagai akibatnya, sosok ulama pun mengalami delegitimasi di mata rakyat.
Nah, ketika kemudian kondisi Aceh memasuki masa krisis keamanan akibat munculnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM), maka ketika pemerintah hendak menyelesaikan konflik, mereka sudah tak memiliki kemampuan lagi. Ulama sebagai pengikat umat Islam sudah tak ada memerankan dirinya seperti dulu lagi karena perannya sebagai sarana pengikat soliditas sosial sudah dihilangkan. Alhasil, konflik Aceh semakin lama bertambah akut dan berlarut-larut. Aceh pun mengalami situasi anarkhi yang akut.
Maka berdasarkan pengalaman tersebut, mau tidak mau peran serta posisi otoritas spiritual harus tetap dijaga dengan baik. Dan ini menjadi sangat berbahaya bila pusat otoritas keagamaan itu dihilangkan. Nah, bila ini sampai benar-benar terjadi, maka pada saat yang sama tidak akan ada lagi sumber otoritas yang didengar oleh rakyat. Situasi sosial dan keamanan negara dipastikan menjadi terganggu dan berbahaya.
Selain itu, di era demokrasi semacam ini, di mana sosok negara tak lagi dianggap sebagai sesuatu yang agung dan dalam waktu yang bersamaan rotasi kekuasaan berlangsung dengan cepat dan berubah-ubah, maka keadaan yang muncul pun tak bisa lagi bersifat permanen. Publik pun kerapkali terombang-ambing.
Akibatnya, di dalam situasi seperti itu --yakni ketika otoritas keagamaan juga dihilangkan� maka yang akan terjadi hanyalah situasi anarkhi. Di sinilah saya melihat adanya tuntutan pembubaran MUI adalah tindakan sangat berbahaya dan dilakukan oleh mereka yang tak paham dengan pengalaman mengelola masalah sosial-keamanan yang selama ini terjadi di wilaya konflik. Cukuplah Aceh jadi pelajaran bagi kita semua.
������
Fachry Ali, lahir 23 November 1954 di Susoh, Aceh Barat Daya. Dia adalah salah satu pendiri Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha (Lspeu Indonesia). Menjadi direktur lembaga ini sejak 1997 hingga 2012. Kini, Fachry Ali menjabat komisaris PT Lspeu Indonesia.
Fachry Memperoleh gelar sarjana muda dari Jurusan Bahasa Inggris, Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (kini Universitas Islam Negeri) pada 1977. Fachry pada 1982 melanjutkan studi di Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam, Fakultas Adab, pada perguruan tinggi yang sama.
Pada 1991-1994, dia melanjutkan studi dalam Southeast Asian History, Department of History, Monash University, Melbourne, Australia. [rol]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar