Breaking News

Hasil Ijtima' Ulama 3, Perseteruan Umat vs Jokowi Semakin Tajam




Berawal dari kasus Ahok menista agama. Tujuh juta umat mengepung Monas. Menuntut Ahok dipidanakan. Pressure umat yang dipimpin oleh Habib Rizieq Shihab (HRS) dan Ustaz Bachtiar Nasir (UBN) dalam gerbong GNPF sukses memenjarakan Ahok lewat sidang pengadilan pasca Pilgub DKI usai. 

Dimana posisi Jokowi saat pilgub? Kabarnya, Jokowi sempat meminta Ahok tak mencalonkan diri di Pilgub DKI. Alasannya? Berat melawan Anies Baswedan. Sebab, umat sudah anti Ahok. Jika Anies menang, bahaya buat Jokowi nyapres. Anies jadi bayang-bayang pencapresan Jokowi di 2019. Bersama SBY, Jokowi kabarnya juga sepakat calonkan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). AHY dijamin tak akan nyapres di 2019. Ahok menolak, dan tetap memilih maju jadi cagub DKI. Informasi ini masih perlu diklarifikasi kebenarannya.

Tak ada pilihan lain bagi Jokowi kecuali mendukung Ahok. Tim, akses kekuasaan dan semua logistik dipersiapkan. Bagi Jokowi, Anies bisa jadi batu sandungan. Harus dikalahkan.

Ujung dari Pilgub DKI, AHY tersingkir, dan Ahok akhirnya kalah. Pasca Pilgub DKI, apakah perseteruan antara Jokowi dengan umat berhenti? Tidak!  Berbagai fenomena persekusi dan isu kriminalisasi membuat perseteruan antara Jokowi dengan umat berlanjut, bahkan makin tajam. Perseteruan ini kemudian mendapatkan arenanya di pilpres 2019. Ini arena yang konstitusional. Ijtima' Ulama ke-1 dan ke-2 menyepakati Prabowo maju. Anies tetap urus Jakarta. Anies "tahu adab" dan tak mungkin mau bersaing dengan Prabowo. Kendati sejumlah partai dan ormas mendesaknya.

Kubu Jokowi sempat meremehkan kekuatan Prabowo. Dalam proses perjalanan, kerja ulama dan umat membuahkan hasil. Kampanya Prabowo-Sandi menunjukkan tanda-tanda fenomenal. Elektabilitasnya terus naik mengejar Jokowi.

Perseteruan antara Jokowi vs umat diprediksi akan berakhir pasca pilpres. Pembelahan dua kubu anak bangsa yang terus memproduksi kegaduhan diperkirakan akan berhenti setelah pilpres. Ternyata, prediksinya meleset. Apa faktornya? Masifnya kecurangan. Baik kecurangan sebelum, saat dan setelah pilpres. Fenomena kecurangan inilah yang telah memperpanjang dan makin mempertajam perseteruan itu.

Fenomena persekusi dan kriminalisasi pasca Pilgub DKI bermetamorfosis menjadi fenomena kecurangan di pilpres. Ulama dan umat meyakini betul terjadinya kecurangan secara masif, terstruktur dan sistematis. Inilah yang mendorong para ulama itu mengadakan Ijtima' Ulama ke-3. Ada lima poin hasil ijtima' Ulama ke-3 yang dihadiri 1000-an utusan dari berbagai wilayah di Indonesia tanggal 1 Mei kemarin. Diantara lima poin itu, poin nomor tiga nampaknya yang dianggap paling penting dan substansial. Isi poin ketiga itu adalah:

"Mendesak Bawaslu dan KPU untuk memutuskan pembatalan/diskualifikasi paslon capres cawapres 01".

Poin ini merupakan sikap tegas hasil Ijtima' Ulama ke-3 bahwa ulama-umat tidak menerima Jokowi jadi presiden. Lalu, apa yang mungkin terjadi setelah hasil Ijtima' Ulama ke-3 mendiskualifikasi Jokowi?

Ulama hanya punya umat. Mereka bisa berkumpul dalam jumlah massa yang sangat besar untuk pressure KPU agar mendiskualifikasi Jokowi. Basis massa inilah yang menjadi kekuatan yang dimiliki para ulama selama ini. Fenomenanya akan mirip seperti aksi 212. Aman dan damai.

Kali ini, yang dihadapi adalah Jokowi, bukan Ahok. Berhadapan langsung dengan Jokowi, seorang presiden yang tetap ingin jadi presiden lagi. Tidak hanya Jokowi, ulama dan umat ini juga akan berhadapan dengan kepentingan orang-orang di sekitar Jokowi. Mereka adalah orang-orang yang dikenal sebagai ahli strategi perang, dan katanya "agak tegaan".

Harapan ulama dan umat agar KPU mendiskualifikasi Jokowi, dijamin tak akan mudah prosesnya. Sebuah perjuangan yang boleh jadi akan butuh biaya sosial. Sepertinya ini akan menjadi "ultimate game" bagi kedua belah pihak. Sulit untuk saling mengalah. Sebab, di pertarungan ini nasib kedua belah pihak ditentukan. Apakah nasib Prabowo dan Habib Rizieq dengan semua gerbong ulama dan umat yang akan berakhir? Atau Jokowi dan nasib para jenderal senior di sekelilingnya yang akan kelar? 

Dimana tokoh-tokoh partai? Mereka tetap aman, siapapun yang jadi presidennya. Baik koalisi partai di kubu Prabowo maupun Jokowi. Bagi mereka, Indonesia gak akan kiamat jika calon presiden mereka kalah. Ini berlaku untuk semua partai. Siapapun yang akan jadi presiden, mereka bisa balik badan, bangun koalisi baru, lalu dapat jatah menteri. Beres!

Berbeda dengan nasib Jokowi beserta orang-orang di sekelilingnya, dan nasib Prabowo-Habib Rizieq dengan semua ulama yang ada di gerbongnya. Tak seperti para tokoh partai.

Situasi politik ini agak menghawatirkan karena kondisi kedua belah pihak yang terancam nasib masa depannya. Karena itu, bergantung Ibu Megawati, kata M.H. Ainun Najib. Kok Ibu Mega? Karena Mega dianggap satu-satunya orang paling potensial yang bisa melerai perseteruan ini.

Apapun yang terjadi, nasib bangsa dan negara ini harus diselamatkan. Para elit politik diharap menurunkan ego masing-masing. Lebih mengutamakan kepentingan bangsa dari ambisi pribadi dan golongan. Jika tidak, perseteruan Jokowi vs ulama-umat akan semakin tajam, dan khawatir tak bisa dikendalikan.

Jakarta, 2/5/2019

Tony Rosyid
Pemerhati Politik dan Bangsa

Tidak ada komentar